Tuesday, September 21, 2010

Sentral Informasi Referendum Acheh

Sentral Informasi Referendum Acheh ("SIRA") adalah organisasi perjuangan masyarakat sipil Acheh yang dibentuk oleh Kongres Mahasiswa dan Pemuda Acheh Serantau (KOMPAS) pada 31 Januari s/d 4 Februari 1999. Kongres yang diselenggarakan oleh Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Acheh (KARMA) dan Komite Mahasiswa dan Pemuda Acheh Nusantara (KMPAN) itu diikuti oleh 106 lembaga mahasiswa, santri, pemuda, pelajar, district organization, pressure groups dan lembaga solidaritas masyarakat Acheh yang ada di seluruh Acheh, luar Acheh dan luar negeri.

Kongres ini secara resmi merekomendasikan dua hal penting yaitu: Pertama, Referendum dengan opsi merdeka dan bergabung dengan Indonesia sebagai satu-satunya solusi adil, damai dan demokratis serta sebagai jalan tengah (netral) untuk penyelesaian kasus Acheh secara menyeluruh dan; Dua, Mendirikan Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA) sebagai lembaga independent yang bertugas mengorganisir informasi dan mengorganisir perjuangan penentuan nasib sendiri melalui referendum serta melakukan pemantauan pelanggaran HAM di Acheh.

Sejak dibentuk pada tanggal 4 Februari 1999, Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA) sudah melakukan berbagai aksi untuk mensosialisasikan referendum sebagai solusi final penyelesaian konflik Acheh secara komprehensif. Di antara kegiatan yang pernah dilakukan SIRA adalah:

   1. Melaksanakan aktifitas kajian dan sosialisasi isu referendum sebagai solusi penyelesaian damai konflik Acheh.
   2. Melaksanakan aksi-aksi massa, diantaranya: Sumpah Bangsa Acheh sebagai pernyataan komitmen bersama untuk tetap memperjuangkan referendum secara damai dan demokratis pada 28 Oktober 1999 dihadiri 100 ribu rakyat Acheh.
   3. Melaksanakan SU MPRA (Sidang Umum Masyarakata Pejuang Referendum Acheh) pada 8 November 1999 di halaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Acheh. Acara tersebut dihadiri oleh 2 juta rakyat Acheh.
   4. Melaksanakan polling pendapat yang diikuti oleh 2 juta rakyat Acheh tentang penyelesaian konflik Acheh pada 8 - 10 November 2000
   5. Melakukan lobby, kampanye, sosialisasi informasi kepada masyarakat International untuk mendukung penyelesaian damai konflik politik melalui jalan tengah yaitu referendum.
   6. Melakukan advokasi, proteksi dan evakuasi terhadap Aktifis kemanusiaan, politik dan masyarakat Acheh pasca 8 November 1999 sampai sekarang.

Latar Belakang : Kebijakan yang menimbulkan rusaknya tatanan kehidupan demokrasi, politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, keadilan dan civil society oleh Pemerintah Pusat Neo-Kolonialis Republik Indonesia telah menyebabkan terjadinya konflik politik vertical dan krisis kemanusiaan yang sangat parah serta berlangsung kontinue di Acheh. Pada sisi lain, tindakan dan budaya tersebut telah menjadikan rakyat Acheh menganggap pemerintah Jakarta sebagai Neo-Colonialism yang sangat primitif dan brutal. Sehingga pada akhirnya membuat rakyat Acheh memberikan perlawanan berkali-kali sampai sekarang ini. Serta membuat konflik politik vertical dan krisis kemanusiaan semakin meningkat dan sangat riskan.

Perlawanan pertama diorganisir oleh DI/ TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daod Beureuéh pada tahun 1953. Perlawanan ini disebabkan oleh pelanggaran politik, pelanggaran janji dan pelanggaran keadilan yang dilakukan oleh Pemerintah Jakarta di bawah pimpinan Soekarno. Dalam hal ini dipastikan ribuan warga sipil Acheh menjadi korban, harta rakyat dirampas, wanita diperkosa dan anak-anak kehilangan orang tua dan pendidikan. Tetapi dalam rentang waktu 1960-1962 gencatan senjata dan perundingan berhasil dilakukan, setelah melalui berbagai proses serta persyaratan, tanpa mediator internaisonal. Di antaranya pemerintah Jakarta membuat konsensus akan menerapkan otonomi luas, keadilan dan mengizinkan aplikasi hukum Islam, serta kompensansi dan rehabilitasi bagi rakyat Acheh. Sehingga membuat para pejuang Acheh saat itu mempercayai komitmen dan konsensus Jakarta.

Namun sangat disayangkan, hingga tahun 1975 di masa Orde Baru Soeharto, ternyata Jakarta tidak pernah mewujudkan keadilan politik, hukum, ekonomi dan demokrasi di Acheh, melainkan terus menerus mengeruk hasil bumi Acheh. Malah Pemerintah Jakarta melakukan berbagai penghancuran sosio-cultural dari peradaban Acheh sebagai etnik minoritas dan marjinal di Indonesia secara sistematis dengan berbagai cara. Kontinuitas praktek kejahatan negara dan penjajahan oleh pemerintah ini menyebabkan rakyat Acheh kembali melawan secara vulgar melalui Acheh Merdeka yang dipimpin Dr. Tgk. Muhammad Hasan Tiro sejak 1976. Maka Jakarta pun mulai menerapkan operasi militer pertamanya di era Orde Baru sampai 1988. Ribuan rakyat sipil dan milyaran harta benda menjadi korban. Sedangkan gerilyawan Acheh Merdeka terpaksa mengungsi ke luar negeri dan mengorganisir gerakannya dari jauh.

Lebih lanjut, pada tahun 1989 perlawanan Acheh Merdeka kembali terjadi. Maka Operasi Militer yang lebih brutal pun dilanjutkan oleh Jakarta hingga 1998. Berbagai kejahatan militer dan pemerintah terjadi, tetapi baru diketahui pada era reformasi. Dari sinilah mulai muncul gerakan civil society yang diorganisir para mahasiswa, intelektual kampus dan pemuda di Acheh sampai terjadinya pencabutan “Operasi Militer Jaring Merah” pada 7 Agustus 1998 oleh Jenderal Wiranto. Meskipun demikian, penculikan dan pembunuhan misterius oleh militer Indonesia tetap saja terjadi, sebab pihak militer dan Pemerintah Indonesia tidak menarik total pasukannya dari Acheh serta tidak membuat consensus apapun, kecuali hanya meminta maaf kepada rakyat Acheh.

Bahkan tidak lama setelah itu, penerapan operasi militer baru dengan nama “Opersi Wibawa ‘99” diterapkan lagi pada Januari 1999. Ratusan warga sipil di Acheh Timur, Acheh Utara dan Pidie kembali menjadi korban pembantaian, penculikan, penganiaayaan dan perampasan. Tentu peningkatan kejahatan negara ini membuat gerakan sipil meningkatkan perlawanannya dan memberikan berbagai solusi politik sebagai kompromi dengan pemerintah Jakarta. Dari sini terjadilah berbagai aksi demonstrasi mahasiswa, pemuda dan masyarakat Acheh baik di Acheh maupun luar Acheh, menuntut pengadilan hak asasi manusia dan pertanggungjawaban pelaku kejahatan kemanusiaan serta pelaksanaan referendum dengan opsi merdeka dan bergabung.

Akhirnya setelah berbagai aksi demonstrasi di kota-kota di Acheh, Medan, Jakarta dan luar negeri, mahasiwa dan pemuda Acheh menggelar Kongres Mahasiswa dan Pemuda Acheh Serantau pada 31 Januari s/d 4 Februari 1999. Kongres yang diselenggarakan oleh Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Acheh (KARMA) dan Komite Mahasiswa dan pemuda Acheh Nusantara (KMPAN) itu diikuti oleh 106 lembaga mahasiswa, santri, pemuda, pelajar, district organization, pressure groups dan lembaga solidaritas masyarakat Acheh yang ada di seluruh Acheh, luar Acheh dan luar negeri. Kongres ini secara resmi merekomendasikan dua hal penting :

   1. Referendum dengan opsi merdeka dan bergabung dengan Neo-Kolonialis Republik Indonesia (NKRI) sebagai satu-satunya solusi adil, damai dan demokratis serta sebagai jalan tengah (netral) untuk penyelesaian kasus Acheh secara menyeluruh
   2. Mendirikan Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA) sebagai lembaga independen yang bertugas mengorganisir informasi dan mengorganisir perjuangan penentuan nasib sendiri melalui referendum

Dengan demikian SIRA mulai melakukan berbagai aktivitas perjuangan dan pengorganisiran rakyat sipil dalam memperjuangkan referendum sejak Februari 1999. Berbagai sosialisasi, investigasi dan kampanye dilakukan SIRA pada tingkat lokal dan nasional, bahkan internaisonal melalui jaringan-jaringannya yang ada di luar negeri. Pada September 1999 SIRA mulai menggelar berbagai aksi sipil secara terbuka di daerah-daerah di Acheh yang diikuti ratusan ribu warga di setiap daerah. Aksi-aksi damai ini diorganisir langsung oleh anggota-anggota dan jaringan-jaringan SIRA yang telah mengikuti Kongres. Sehingga pada 28 Oktober 1999, SIRA yang berkantor pusat di Banda Acheh menggelar secara langsung sebuah moment yang diberi nama dengan “Sumpah Bangsa Acheh” yang diikuti tidak kurang oleh 150.000 warga sipil dari berbagai daerah, khususnya Banda Acheh, Acheh Besar dan Sabang. Acara ini digelar di depan gedung DPRD TK I Acheh. Acara ini juga menghasilkan petisi dan komitmen referendum, serta para peserta memberikan mandat kepada SIRA untuk terus menorganisir perjuangan self-determination pada tingkat lokal, nasional dan internasional.

Puncaknya, SIRA kembali menggelar aksi sipil dengan nama “Sidang umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Acheh pada 8 November 1999 di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Momen ini diikuti oleh 2 juta rakyat Acheh dari seluruh Acheh. Di samping itu, juga dihadiri oleh Pemerintah Lokal TK I dan TK II, DPR TK I dan TK II, pimpinan spiritual, pengamat dan LSM-LSM. Acara ini menghasilkan petisi dan komitmen referendum, termasuk memberi mandat lagi kepada SIRA untuk mengorganisir perjuanagan self-determination pada tingkat lokal, nasional dan internasional. Perjuangan sipil ini direspon oleh pemerintah Jakarta di bawah pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid/Gus Dur dengan melakukan berbagai operasi militer yang masih berlangsung sampai sekarang. Operasi militer ini dimulai dengan “Operasi Militer Sadar Rencong I, II dan III.”

Karena kontinuitas konflik dan krisis kemanusiaan pun semakin meningkat. Bahkan rakyat sipil harus menjadi pengungsi di kampung sendiri: rumah penduduk dibakar, sekolah dibakar, tempat-tempat masyarakat dibakar, warga sipil dibantai, diculik dan dianiaya. Lebih dari itu wanita dan anak-anak juga jadi korban, diperkosa dan ada yang dibunuh oleh militer Indonesia. Sementara gerakan sipil yang diorganisir oleh SIRA dan mahasiswa tetap berjalan sebagai upaya penghentian krisis kemanusiaan dan konflik politik.

Sentral Informasi Referendum Acheh Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Sentral Informasi Rakyat Aceh